Saya memulai karier sebagai penerjemah sekitar tahun 2007 dengan menerjemahkan buku dan teks-teks LSM. Saat melihat kembali hasil terjemahan saya, rasanya malu sekali. Waktu itu saya baru memulai karier, belajar otodidak dari praktik, belum banyak pengalaman, dan tidak tahu ragam ekspektasi mutu. Pada saat itu penerbit juga punya kecenderungan untuk mempekerjakan penerjemah-penerjemah pemula—mungkin karena alasan anggaran atau keterbatasan SDM. Jadi, saya mau mengaku dosa. Saya pernah ikut andil dalam menghasilkan mutu terjemahan buku yang buruk.
Kategori: Bahasa
Tulisan-tulisan tentang bahasa

Penulis : Alif Danya Munsyi
Edisi : Pertama
Penerbit : Pustaka Firdaus
Kota terbit : Jakarta
Tahun terbit : 1996
Tebal buku : 134 halaman
Adalah Pusat Bahasa, atau yang dulu bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B), yang paling gencar menyuarakan paradigma ‘bahasa Indonesia yang baik dan benar”; sebuah paradigma preskriptivisme (berupa resep) yang diajukan dan dipaksakan untuk dipatuhi oleh para penutur Bahasa Indonesia. Ideologi nasionalisme-paksa ini, selain tak pernah berhasil diterapkan, juga menjadi tanda bagi ketuna-sejarahan para ahli bahasa perumusnya akan lalu lintas kata dan istilah dalam bahasa Indonesia.

Penyunting: Mikihiro Moriyama dan Manneke Budiman
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Kota terbit: Jakarta
Tahun terbit: 2010
Tebal buku: xx + 424 halaman
Pada 9-11 Juni 2008, sebuah lokakarya bertajuk “Perubahan Konfigurasi Kebahasaan di Indonesia Pasca-Orde Baru” dilaksanakan di kampus Universitas Indonesia, Depok, Jakarta. Lokakarya yang berlangsung selama tiga hari itu menghadirkan empat belas makalah yang sebagian besar disajikan dalam bahasa Indonesia – beberapa makalah ditulis dan dipresentasikan dalam bahasa Inggris. Butuh waktu 3 tahun bagi Mikihiro Moriyama untuk merealisasikan ide lokakarya mengenai perkembangan bahasa pasca-Orde Baru itu. Hambatan utama yang ia hadapi adalah tiadanya dana. Untungnya, para pembicara bersedia untuk hadir dan mempresentasikan makalahnya dengan biaya sendiri. Lokakarya itu, menurut penuturan Mikihiro Moriyama dalam Ucapan Terimakasih-nya, berjalan dengan padat dan sengit. “Kami bersungguh-sungguh dalam diskusi tapi dalam suasana akrab,” tulis Moriyama.
Maret adalah Hari Perfilman Nasional (30 Maret) dan Hari Wanita Indonesia (9 Maret). Keduanya sama-sama punya sejarah yang cukup pelik dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Dan usaha untuk menyandingkan dan menganalisis keduanya sudah beberapa kali dilakukan. Misalnya saja, peran beberapa perempuan dalam perfilman di Indonesia oleh ‘admin mobid713’. Kompas juga pernah membuat liputan khusus mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam film-film animasi pada 31 Juli 2009. Namun, usaha untuk menjabarkan peran perempuan dan kekerasan terhadap perempuan, dua isu besar dalam Gerakan Perempuan, sepanjang pengetahuan saya, tidak banyak dilakukan dalam ranah kebahasaan [semoga saya salah].
Tahu bagaimana membaca dan memahami frase JANDA 1/3 DIS, PRA ONE THE SAW, atau Air, Money & Chair? Bagi yang hidup berdekatan dengan tetangga yang jadi sopir atau kernet truk, atau yang rumahnya berdekatan dengan pangkalan truk, atau dekat dengan ‘studio’ lukisan bak truk, kata-kata di atas tidaklah asing lagi. Ya, tulisan-tulisan itu adalah hasil daya cipta seniman spesialis belakang truk. Di banyak blog, tulisan-tulisan dan gambar-gambar belakang truk (tepatnya di bak sisi belakang truk) dipajang dengan kata pengantar yang bunyinya rata-rata begini: ‘silahkan tersenyum…” Bahkan, kini telah ada grup jenis kesenangan di Facebook yang memuat dan berbagi tulisan-tulisan dan gambar-gambar belakang truk. Seberapa menarikkah tulisan-tulisan dan gambar-gambar itu? Apa yang membuatnya menarik? Kira-kira apa fungsinya? (Artikel ini akan fokus pada tulisan saja, meskipun gambar akan sedikit disinggung demi pemahaman yang lebih lengkap mengenai fenomena ini).
