Saya memulai karier sebagai penerjemah sekitar tahun 2007 dengan menerjemahkan buku dan teks-teks LSM. Saat melihat kembali hasil terjemahan saya, rasanya malu sekali. Waktu itu saya baru memulai karier, belajar otodidak dari praktik, belum banyak pengalaman, dan tidak tahu ragam ekspektasi mutu. Pada saat itu penerbit juga punya kecenderungan untuk mempekerjakan penerjemah-penerjemah pemula—mungkin karena alasan anggaran atau keterbatasan SDM. Jadi, saya mau mengaku dosa. Saya pernah ikut andil dalam menghasilkan mutu terjemahan buku yang buruk.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai memasuki ceruk terjemahan yang sama sekali lain. Yaitu, apa yang umumnya disebut industri bahasa atau industri jasa bahasa. Di industri ini, yang bermain bukan hanya penerjemah individu dan klien. Banyak individu dan lembaga yang terlibat, dari penerjemah/bahasawan, regulator, perusahaan terjemahan atau agensi terjemahan, perusahaan teknologi, hingga lembaga standarisasi dan lembaga penelitian. Asesmen terhadap kualitas juga sama sekali lain. Lebih baku, lebih ketat, dan lebih sistematis.
Pernyataan itu bukan untuk merendahkan sistem penjaminan mutu terjemahan di industri perbukuan. Banyak buku yang terjemahan bahasa Indonesianya bagus; kebetulan saja saya bertemu dengan beberapa penerbit yang tidak ketat pemeriksaan mutu terjemahannya. Bukan berarti juga semua hasil terjemahan yang dihasilkan di industri bahasa bagus; penekanan pada kecepatan, efisiensi, dan produktivitas tidak jarang menghasilkan terjemahan yang bikin sedih. Namun, setidaknya, sistem penilaian yang dipraktikkan menghadirkan sebuah standar mutu terjemahan.
Kalau saya renung-renungkan, sangat wajar jika sebuah industri memerlukan standar. Standar mutu produk jadi alat komunikasi atau bahasa bersama banyak pemangku kepentingan yang terlibat di dalam industri, termasuk klien. Selain itu, ia akan membantu proses pengukuran atau penilaian yang lebih objektif.
Terjemahan berkualitas, seperti apa itu?
Untuk menjawabnya, saya riset kecil dengan memeriksa beberapa dokumen internal dan menelaah definisi terjemahan berkualitas dari para pemain yang terlibat di industri—agensi terjemahan, perusahaan teknologi bahasa, dan lembaga standarisasi. Beberapa organisasi menyatakan dengan eksplisit definisinya, beberapa yang lain mengasumsikan kualitas dari pernyataan-pernyataan yang dibuatnya.
Dari hasil riset kecil itu, saya menemukan tiga elemen penting dalam definisi terjemahan berkualitas, yaitu: klien, tujuan/fungsi, dan aspek kebahasaan. Terjemahan berkualitas adalah terjemahan yang memenuhi ekspektasi klien, optimal mencapai tujuan/fungsinya, dan beres secara kebahasaan (akurasi, tata bahasa, peristilahan, penulisan).

Beda lembaga bisa beda penekanan atau perspektif yang dipakai. Attila Görög dari TAUS—perusahaan yang meluncurkan DQF, sebuah perangkat penilaian kualitas terjemahan—menyatakan bahwa, singkatnya, terjemahan yang baik adalah terjemahan yang membuat klien puas. Sejauh klien senang dengan hasil terjemahan kita, maka terjemahan kita bagus. Masalah mungkin terjadi ketika klien tidak punya ekspektasi yang jelas atau tidak mampu menjelaskan maunya apa. Di titik ini, dua elemen lainya, fungsi teks dan aspek kebahasaan, akan punya peran sangat penting dalam proses penerjemahan.
Sementara itu, Gabriel Fairman, CEO dari Bureau Works—sebuah perusahaan teknologi terjemahan—menyatakan bahwa engagement lebih penting dari akurasi. Engagement yang dimaksud adalah kemampuan sebuah teks atau tuturan mencapai tujuan atau fungsinya. Kita bisa menyebut juga engagement ini dengan istilah fit for purpose. Elemen kedua ini sifatnya pragmatis (menekankan kegunaan) dan karenanya terkait dengan pembaca sasaran atau audiens dari naskah yang diterjemahkan. Terjemahan teks pemasaran, misalnya, akan disebut berkualitas jika mampu membuat pembaca engaged dan membantu meningkatkan nilai brand dan penjualan. Contoh lainnya, terjemahan manual yang berkualitas akan membuat pembaca cepat paham dan mampu menjalankan prosedur teknis dengan benar. Sejauh tujuan-tujuan itu dapat dicapai dengan optimal dan makna utuh teks tersampaikan, aspek ketaatan pada kaidah bahasa bisa dinomorduakan dan makna parsial—dari unit-unit informasi penyusunnya—bisa diubahsuaikan.
Di sisi lain, Pact Tranz—sebuah agensi terjemahan di Selandia Baru—mendefinisikan kualitas terjemahan dari perspektif kebahasaan (akurasi pesan, penyusunan kata, dan konsistensi). SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) untuk Penerjemah Teks Umum juga memberikan penekanan serupa (akurat, berterima, dan mudah dipahami). Begitu juga dengan berbagai perangkat penilaian hasil terjemahan. Sebagai informasi, di industri bahasa, terjemahan sering dinilai menggunakan matriks berisi kategori kesalahan dalam aspek kebahasaan. Makin banyak dan berat kesalahan kebahasaan yang ditemukan, makin buruk pula terjemahan itu.
Meski menekankan satu elemen tertentu, lembaga-lembaga itu paham bahwa elemen lainnya tidak bisa diabaikan. Poinnya adalah, ada yang merasa bahwa kepuasan klien nomor satu, ada yang mengutamakan aspek tujuan/fungsi, ada yang fokus pada aspek kebahasaan.
Bagaimana cara menjamin kualitas?
Setelah mengetahui apa itu terjemahan berkualitas, apa yang dapat dilakukan untuk mencapai dan menjaganya?
Kita bisa membagi pihak yang menjamin terjemahan berkualitas menjadi dua, yaitu individu dan organisasi. Pembagian ini penting karena baik individu maupun organisasi punya peran yang sama besar di industri.
International Federation of Translators (IFT) pun mengakui bahwa dalam konteks industri bahasa, dunia yang makin terkoneksi, dan tren penggunaan mesin terjemahan, “citra tradisional tentang penerjemah soliter sudah pasti berubah”. Penerjemah mesti memakai pendekatan berorientasi tim dan terus memperbaiki kemampuan menggunakan alat-alat terbaru. Di saat bersamaan, penerjemah punya tugas untuk “melawan degradasi bahasa manusia dan menjamin hadirnya bahasa bermutu tinggi”. IFT tidak menjelaskan lebih lanjut tentang “degradasi bahasa manusia”, tetapi saya menduga kuat maksudnya adalah menyebarnya terjemahan mesin yang kaku dan sangat mekanis. Terjemahan semacam itu sangat tidak alamiah, berbeda dari bagaimana bahasa digunakan oleh manusia.
Dalam Kertas Sikap yang diterbitkan oleh IFT itu, kita juga bisa melihat satu kata kunci lagi yang penting, yaitu penerjemah sebagai konsultan jasa bahasa. Kata kunci ini sangat relevan dalam konteks makin marak dan diterimanya terjemahan mesin. Penerjemah manusia, dengan pengetahuan kebahasaan dan bidang khusus yang digelutinya, dengan pengalamannya hidup di masyarakat, dengan pemahamannya akan budaya, adalah hakim dan penentu keputusan kebahasaan dalam proses penerjemahan.
Itulah posisi individu penerjemah/bahasawan untuk menjaga kualitas. Tugasnya tidak mudah. Tidak mengherankan jika ISO 17100, standar industri untuk layanan terjemahan, menekankan pentingnya kualifikasi bahasawan/penerjemah. ISO 17100 mensyaratkan gelar bidang terjemahan, bahasa, atau lingustik atau gelar lain dengan pengalaman menerjemahkan selama dua tahun sebelum bisa dianggap punya kualifikasi. Kita bisa memperdebatkan persyaratan kualifikasi dari ISO 17100, kita bisa cari standar lain atas kualifikasi, tapi kompetensi adalah syarat mutlak.
Namun, seperti akan kita lihat sebentar lagi, khususnya di dalam organisasi (agensi terjemahan), individu yang terlibat dalam kerja terjemahan bukan hanya bahasawan.
Di level organisasi, jaminan mutu dihadirkan melalui kebijakan, proses, dan prosedur yang dibutuhkan dalam perencanaan dan pelaksanaan kerja. Kebijakan mengacu pada pernyataan maksud dan arah organisasi terkait mutu yang hendak dicapai; proses adalah serangkaian aktivitas yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan mutu; dan prosedur adalah instruksi langkah-demi-langkah dalam melaksanakan tugas-tugas di dalam proses. Kebijakan adalah why-nya, proses itu what-nya (biasanya dalam bentuk bagan alur), dan prosedur itu how-nya (biasanya dalam bentuk instruksi atau panduan).
Sekarang, anggap definisi terjemahan berkualitas di atas sebagai why. Bagaimana dengan what dan how-nya di level organisasi? Kita mulai dari what-nya dulu. Di agensi terjemahan, penjaminan mutu setidaknya dipegang oleh dua pihak, yaitu manajer proyek dan bahasawan. Pengelolaan keseluruhan proses kerja adalah tanggung jawab manajer proyek, sedangkan produksi jadi tanggung jawab bahasawan.
Proses pengelolaan proyek dapat dibagi ke dalam tiga tahap: pra-produksi, produksi, dan pasca-produksi. Tahap pra-produksi meliputi pendokumentasian ekspektasi dan instruksi klien, pendokumentasian karakteristik naskah (termasuk tujuannya), pencarian bahasawan yang tepat, dan persiapan berkas kerja. Di sini, studi kelayakan proyek akan berpengaruh besar pada kualitas yang dihasilkan dan kemampuan memenuhi ekspektasi klien.
Sementara itu, tahap produksi dilakukan secara kolaboratif antara manajer proyek dan para bahasawan yang terlibat. Manajer proyek menyediakan instruksi yang jelas kepada bahasawan, mengatur lini masa yang masuk akal, dan memastikan tiap langkah produksi berjalan lancar. Di tahap terakhir, pasca-produksi, manajer proyek memeriksa kesesuaian hasil produksi dengan ekspektasi klien dan membuka ruang untuk masukan dan koreksi. Verifikasi kesesuaian ini umumnya bersifat teknis, meski kadang terkait juga dengan elemen kebahasaan seperti konsistensi terjemahan istilah. Manajer proyek biasanya punya daftar periksa akhir, yang telah disusun di tahap pra-produksi.
Di tahap produksi, yang merupakan inti kerja penerjemahan, aktivitasnya dibagi setidaknya ke dalam tiga langkah, yaitu: penerjemahan, revisi, dan verifikasi. Penerjemahan adalah langkah awal, sebelum dilanjutkan revisi. Meski umumnya dilakukan satu kali saja, revisi bisa dilakukan sampai dua, bahkan tiga kali. Demi menjaga kualitas, penerjemahan dan revisi perlu dilakukan oleh orang yang berbeda. Dan makin banyak langkah revisi, makin besar pula biaya produksi yang harus dikeluarkan. Langkah terakhir, verifikasi, adalah pemeriksaan akhir elemen kebahasaan sesuai ekspektasi klien yang disampaikan oleh manajer proyek. Verifikasi bisa dilakukan oleh orang yang melakukan revisi, atau lebih baik lagi orang yang berbeda—umumnya disebut dengan bahasawan utama atau lead linguist.
Itulah what-nya, proses-proses yang disusun untuk menjamin kualitas terjemahan di level organisasi (agensi terjemahan). Prosesnya menyeluruh, didefinisikan dengan jelas, dan dibakukan. Di level individu, khususnya jika kita adalah penerjemah lepas yang langsung berhubungan dengan klien akhir, prosesnya sebenarnya serupa, tetapi dengan skala yang lebih kecil.

Lalu, bagaimana dengan prosedur tiap proses? Apa yang harus dilakukan langkah-demi-langkah sehingga kualitas dapat dijamin? Tidak mungkin prosedur dari tiap proses dari langkah panjang di atas dapat dijabarkan di artikel pendek ini. Namun, saya dapat mengutarakan dua poin penting. Pertama, bahwa penyusunan dan penetapan proses itu sendiri sudah merupakan langkah untuk menjamin kualitas. Kedua, prosedur adalah alat, bukan tujuan. Alat untuk mencapai kualitas terjemahan sebagaimana dijelaskan di atas, bukan dibuat hanya demi kepatuhan. Dengan prosedur, kita akan tahu area mana yang dapat diperbaiki apabila ada persoalan kualitas.
Kembali lagi ke pertanyaan awal, dengan cara apa terjemahan berkualitas dicapai? Singkatnya, dengan kompetensi individu dan sistem kerja yang memadai. Sistem kerja ini akan membutuhkan alat bantu, baik untuk pengelolaan, pelaksanaan tugas produksi, maupun pemeriksaan dan penilaian. Industri punya beragam alat untuk semua kebutuhan itu.
Apa kontribusi agensi terjemahan?
Saat menjabarkan cara menjamin kualitas terjemahan di level organisasi, mekanisme kerja yang saya uraikan adalah standar baik mekanisme dari sebuah agensi atau perusahaan terjemahan. Artinya, agensi terjemahan diharapkan mampu menghimpun bahasawan yang kompeten dan menjalankan langkah-langkah yang memadai demi menghasilkan terjemahan yang bermutu.
Pada praktiknya, penerjemah kompeten tidak turun dari langit. Pendidikan formal mungkin memberi bekal kompetensi dasar kebahasaan, tetapi belum bisa melahirkan keahlian menerjemahkan. Jadi, agensi terjemahan punya peran tambahan yang juga penting, yaitu pengembangan kapasitas bahasawan. Fungsi ini dilakukan dengan evaluasi berkala, masukan konstruktif, dan lingkungan kerja yang mendorong perbaikan diri terus-menerus.
Sementara itu, terkait dengan sistem kerja, peran besar yang mampu dimainkan oleh agensi adalah kemampuannya untuk menjamin konsistensi mutu. Bahasawan yang terlibat dalam sebuah proyek mungkin berbeda, kesulitan naskah pasti beragam, tapi sistem yang baik (termasuk konektivitas antar-anggota tim) akan mampu mengeliminasi atau paling tidak meminimalkan terjadinya kesalahan.
Di atas semua itu, bagi saya, agensi adalah konsultan bahasa skala organisasi. Di level praktis, dengan sumber daya dan kapasitas yang dimilikinya, agensi dapat membantu memenuhi kebutuhan komunikasi dan menangani masalah kebahasaan skala industri. Sementara itu, di level intelektual agensi punya kemampuan kolektif untuk menjadi salah satu pengawal perubahan bahasa dan turut serta dalam menghasilkan bahasa yang indah dan tepat.
Saya memilih menggunakan frasa “pengawal perubahan bahasa” alih-alih “penjaga bahasa dari degradasi”. Bukan berarti kekhawatiran soal “degradasi bahasa manusia” sebagaimana disampaikan IFT tidak penting atau tidak nyata. Namun, kita perlu hati-hati menggunakan frasa “degradasi bahasa.” Dalam semesta pembicaraan tentang penggunaan bahasa, istilah “degradasi” sering disuarakan oleh orang-orang dari kelompok preskriptif kronis dan blok anti-perubahan. Dan seiring waktu, sejarah membuktikan bahwa mereka salah.
Bahasa terus berubah. Itulah yang terjadi. Perubahan bahasa ditopang oleh daya destruktif dan konstruktif sekaligus. Daya destruktif bisa berasal dari kebodohan/ketidaktahuan penutur manusia atau dari penggunaan mesin terjemahan secara mentah. Bahasawan dan agensi terjemahan sebagai konsultan bahasa perlu mengambil peran di sisi konstruktifnya. Iya, bahasawan perlu melakukan koreksi. Namun, kita juga perlu bersikap terbuka pada perubahan. Terbuka pada cara-cara baru bahasa digunakan oleh penuturnya.
Saya juga memilih menggunakan frasa “bahasa yang indah dan tepat”, bukan “baik dan benar”. Paradigma bahasa (Indonesia) yang baik dan benar terlanjur memikul beban preskriptif yang berat, yang tidak mudah untuk diletakkan. Pemaknaan ulang atas “baik dan benar” memang terus dilakukan. Namun, sepertinya itu tidak cukup. Dalam praktik di industri, tidak jarang saya bertemu peninjau hasil terjemahan yang buru-buru menghakimi praktik penggunaan bahasa yang tidak baku—atau dianggapnya tidak baku.
Bukan berarti kita tidak perlu aturan “baik dan benar”-nya bahasa. Keduanya diperlukan untuk menghasilkan ketepatan—tata bahasa, ekspresi, makna, gagasan. Namun, berpegang pada “baik dan benar” saja tidak cukup. Terlalu fokus pada aspek “baik dan benar”—dalam pengertiannya sebagai baku, beku, kaku—akan menjauhkan kita dari keindahan bahasa, dari kenikmatan tekstual, dari kemampuan bahasa untuk menghanyutkan kita ke samudra ide yang dibawanya.
Referensi:
- https://aclanthology.org/2014.tc-1.21.pdf
- https://www.youtube.com/watch?v=TKzJtezNCwY&ab_channel=BureauWorks
- https://www.youtube.com/watch?v=MdGbdi0UDAo&ab_channel=PacTranz
- https://library.fit-ift.org/legacy/PDP_201704_Future_Professional_Translators_ENFR.pdf
- https://www.ecinnovations.com/blog/understanding-iso-17100-key-principles-for-translation-quality/
- https://www.iso.org/standard/62085.html
- https://www.youtube.com/watch?v=kNvAbxkOY8g&ab_channel=TNVAkademi
Tinggalkan Balasan