Bahasa, Sastra, Terjemahan

Bulan: Maret 2017

Saat Indonesia Memperdebatkan Peran Islam, Amerika Tak Turut Campur

Pada awal 1980an, Nasir Tamara, seorang sarjana muda Indonesia, butuh uang untuk mendanai studi mengenai Islam dan Politik. Ia pergi ke kantor Ford Foundation cabang Jakarta untuk meminta bantuan. Ia pulang dengan tangan hampa. Amerika, dikatakan padanya, “tidak tertarik dengan urusan Islam.”

Penolakan datang dari ibu presiden Obama, Ann Duhham, seorang antropolog Amerika yang tinggal di Indonesia selama lebih dari satu dasawarsa. Dunham, yang meninggal pada 1995, fokus pada persoalan pembangunan ekonomi, bukan pada masalah kepercayaan dan politik – subjek sensitif di sebuah negara yang diperintah oleh seorang otokrat (penguasa mutlak) berpikiran sekuler.

Geliat Bahasa Selaras Zaman

Penyunting: Mikihiro Moriyama dan Manneke Budiman
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Kota terbit: Jakarta
Tahun terbit: 2010
Tebal buku: xx + 424 halaman

Pada 9-11 Juni 2008, sebuah lokakarya bertajuk “Perubahan Konfigurasi Kebahasaan di Indonesia Pasca-Orde Baru” dilaksanakan di kampus Universitas Indonesia, Depok, Jakarta. Lokakarya yang berlangsung selama tiga hari itu menghadirkan empat belas makalah yang sebagian besar disajikan dalam bahasa Indonesia – beberapa makalah ditulis dan dipresentasikan dalam bahasa Inggris. Butuh waktu 3 tahun bagi Mikihiro Moriyama untuk merealisasikan ide lokakarya mengenai perkembangan bahasa pasca-Orde Baru itu. Hambatan utama yang ia hadapi adalah tiadanya dana. Untungnya, para pembicara bersedia untuk hadir dan mempresentasikan makalahnya dengan biaya sendiri. Lokakarya itu, menurut penuturan Mikihiro Moriyama dalam Ucapan Terimakasih-nya, berjalan dengan padat dan sengit. “Kami bersungguh-sungguh dalam diskusi tapi dalam suasana akrab,” tulis Moriyama.

Hanyut Dalam Cerita

Saya hanyut dalam cerita. Saya terbawa ke dunia lain saat membaca Gempa Waktu. Saya tidak bisa berhenti membaca Bumi Manusia sebelum selesai. Saya merasakan amarah Minke dan mengagumi kecantikan Annelies. Afrizal Malna membuat saya seperti diserbu benda-benda di sekitar saya. Saya terombang-ambing dalam pikiran-pikiran gelap, aneh, tapi nyata dari tokoh-tokoh dalam Ziarah. Saya merasakan ketulusan cinta yang sederhana dari puisi Sapardi. Saat membaca Ulid, saya ditarik menjadi orang desa, yang bangga dengan masa kanak-kanak sekaligus penuh getir merasakan kemiskinan yang mengungkung kampung. Saya terjebak di jejaring intertekstual puisi-puisi Saut Situmorang.

Judul (yang) Horor

Maret adalah Hari Perfilman Nasional (30 Maret) dan Hari Wanita Indonesia (9 Maret). Keduanya sama-sama punya sejarah yang cukup pelik dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Dan usaha untuk menyandingkan dan menganalisis keduanya sudah beberapa kali dilakukan. Misalnya saja, peran beberapa perempuan dalam perfilman di Indonesia oleh ‘admin mobid713’. Kompas juga pernah membuat liputan khusus mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam film-film animasi pada 31 Juli 2009. Namun, usaha untuk menjabarkan peran perempuan dan kekerasan terhadap perempuan, dua isu besar dalam Gerakan Perempuan, sepanjang pengetahuan saya, tidak banyak dilakukan dalam ranah kebahasaan [semoga saya salah].

Lupus = Lucu (tapi) Pusing

Tahu bagaimana membaca dan memahami frase JANDA 1/3 DIS, PRA ONE THE SAW, atau Air, Money & Chair? Bagi yang hidup berdekatan dengan tetangga yang jadi sopir atau kernet truk, atau yang rumahnya berdekatan dengan pangkalan truk, atau dekat dengan ‘studio’ lukisan bak truk, kata-kata di atas tidaklah asing lagi. Ya, tulisan-tulisan itu adalah hasil daya cipta seniman spesialis belakang truk. Di banyak blog, tulisan-tulisan dan gambar-gambar belakang truk (tepatnya di bak sisi belakang truk) dipajang dengan kata pengantar yang bunyinya rata-rata begini: ‘silahkan tersenyum…” Bahkan, kini telah ada grup jenis kesenangan di Facebook yang memuat dan berbagi tulisan-tulisan dan gambar-gambar belakang truk.  Seberapa menarikkah tulisan-tulisan dan gambar-gambar itu? Apa yang membuatnya menarik? Kira-kira apa fungsinya? (Artikel ini akan fokus pada tulisan saja, meskipun gambar akan sedikit disinggung demi pemahaman yang lebih lengkap mengenai fenomena ini).

Kasus Ajaib Bahasa Indonesia?

Judul Buku: Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosakata dan Politik Peristilahan
Penulis: Jérôme Samuel
Penerjemah: Dhany Saraswati Wardhany
Penyunting: Emma Sitohang-Nababan
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun terbit: 2008
Kota terbit: Jakarta
Jumlah halaman: 534

Jika gelombang pemodernan berasal dari luar, masalah utama yang diakibatkan oleh pemodernan sebenarnya adalah masalah pelengkapan kosakata, bagaimanapun prosedurnya. Masalah pemungutan dan purisme tidaklah sepenting  seperti yang disiratkan oleh literatur sosiolinguistik.

Andrea Hirata Gagal Mencipta Dunia Fiksi

“Tokoh-tokoh dalam novel ini membawa saya pada kerinduan menjadi orang Indonesia…A must read!!!”

-Riri Riza –

“Tidak ada tokoh dalam novel Laskar Pelangi.” Kalimat itulah yang menyeruak bagai udara yang bebas dari balon sabun yang meletup dalam kepala saya di sebuah diskusi kecil dengan beberapa teman pada pertengahan Januari (2013) silam. Waktu itu, kami sedang membicarakan sebuah novel berjudul Ulid Tak Ingin ke Malaysia karya Mahfud Ikhwan, khususnya tentang hubungan narator dan tokoh dalam sebuah cerita fiksi. Kenapa saya bisa sampai berkata begitu? Bukankah Laskar Pelangi banyak dipuji karena, salah satunya, dianggap berisikan tokoh-tokoh yang menginspirasi, seperti yang bisa kita lihat dalam kalimat Riri Riza yang saya kutip di atas?

Powered by WordPress & Theme by Anders Norén